SUKU BUNGA PERBANKAN TERLALU TINGGI
Kelompok :
Fera Lufhidarani Pranita (22210722)
Riesca Amanda (25210927)
Retno Ginanjar Rahayu (25210779)
Yelliana Ela Vita Kusumaningsih (28210616)
"Peran Pemerintah Dalam Mengatasi Suku Bunga Perbankan Yang Terlalu Tinggi Di Indonesia"
Kesimpulan
Pengalaman
menunjukkan, kebijakan suku bunga tinggi akan membawa Indonesia ke lembah
krisis. Tahun 1997/1998 BI menerapkan kebijakan suku bunga tinggi hingga money
market sampai dengan 70% untuk meredam inflasi. Efeknya kurang mendorong pertumbuhan
ekonomi dan justru terjadi kontraksi yang cepat dan besar. Dampak yang berat
dari kebijakan tersebut ialah banyak dunia usaha yang hancur (kredit menjadi
puso atau macet). Nilai tukar rupiah menyala sampai dengan di atas Rp15.000 per
US$1. Bank-bank masuk jurang dengan kelojotan likuiditas yang kering. Akhirnya
bank-bank masuk perawatan dan tidak sedikit yang menjadi almarhum. Pemerintah
Indonesia pun mem-bailout bank-bank sampai
dengan Rp650 triliun.
Tahun 2005 dan 2008
pola yang sama kembali dianut, kendati agak berbeda efeknya. Pada 2005 kenaikan
harga BBM yang tajam juga mengerek suku bunga dan tak berbeda pada 2008.
Kebijakan menaikkan suku bunga ini justru membuat situasi pasar mencari
keseimbangan baru yang bukan berarti tidak menelan korban. Namun, kebijakan
yang diambil pemerintah (BI) pada 2008 relatif berhasil karena krisis tidak
sampai melumatkan ekonomi Indonesia, hanya menekan pertumbuhan ekonomi menjadi
di kisaran 4,1%. Kebijakan bailout terhadap Bank Century yang dilakukan
pemerintah dengan mekanisme asuransi (bukan APBN seperti 1998) bisa jadi ikut
berperan dalam menahan krisis perbankan.
Jika suku bunga naik,
hastrat untuk melakukan konsumsi (propensity to consume) akan
berkurang, begitu pula hasrat untuk investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi
(C) dan investasi (I) akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand). Di sisi lain dengan suku bunga
yang lebih tinggi BI ingin menghimpun dana masyarakat dan memperkuat likuiditas
dolar AS karena akan banyak pemilik dolar AS konversi ke rupiah dengan bunga
bank yang lebih tinggi hingga di akhir akan menguatkan kembali nilai tukar
rupiah.
Dalam
keadaan ini Pemerintah melakukan tindakan kebijakan Moneter untuk
mengantisipasi terjadinya inflasi akibat terjadinya kenaikan suku bunga salah
satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan moneter. Kebijakan moneter
adalah proses di mana pemerintah, bank sentral, atau otoritas moneter suatu
negara kontrol suplai uang, ketersediaan uang, dan biaya uang atau suku bunga
untuk mencapai menetapkan tujuan berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas
ekonomi.
Kebijakan Moneter
bertumpu pada hubungan antara tingkat bunga dalam suatu perekonomian, yaitu
harga di mana uang yang bisa dipinjam, dan pasokan total uang. Kebijakan
moneter menggunakan berbagai alat untuk mengontrol salah satu atau kedua, untuk
mempengaruhi hasil seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar dengan
mata uang lainnya dan pengangguran. Dimana mata uang adalah di bawah monopoli
penerbitan, atau dimana ada sistem diatur menerbitkan mata uang melalui
bank-bank yang terkait dengan bank sentral, otoritas moneter memiliki kemampuan
untuk mengubah jumlah uang beredar dan dengan demikian mempengaruhi tingkat
suku bunga (untuk mencapai kebijakan gol).
Kebijakan moneter akan
mempengaruhi pasar uang dan pasar surat berharga, dan pasar uang dan surat
berhargta itu akan menentukan tinggi rendahnya tingkat bunga, dan tingkat bunga
akan memperngaruhi tingkat agregat. Kebijakan fiskal akan mempunyai pengaruh
terhadap permintaan dan penawaran agregat, yang pada giliranya permintaan dan
penawaran agregat itu akan menentukan keadaan di pasar barang dan jasa. Kondisi
di pasar barang dan jasa ini akan menentukan tingkat harga dan kesempatan kerja
akan menentukan tingkat pendapatan dan tingkat upah yang di harapkan. Keduanya
akan memiliki umpan balik yaitu pendapatan akan memberikan umpan balik terhadap
permintaan agregat dan upah harapan mempunyai umpan balik terhadap penawaran
agregat dan pasar uang serta pasar surat berharga.
Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan
dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:
Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter
antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank
Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan
berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak
langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan
suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi.
Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter,
Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation
targeting framework.
Kedua,
Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan
yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti
itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di
negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem
keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan
ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya
kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif
haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam
pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus
dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan
disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya
penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan
stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan.
Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank
Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana
implementasi Basel II.
Ketiga,
Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu
peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang
cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut
dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga
menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan
mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang
cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran
yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement)
yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai
otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan
keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat
mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan.
Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor
kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock)
yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia
dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi
kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi
rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat
untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima,
Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui
fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR
merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola
krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi
sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis.
Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan
berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi
normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan
likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari
terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan
persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.